Lukisan Tari Bedhaya Ketawang



Disini sang maestro Srihadi Soedarsono mengambil tema perihal Tarian Bedhaya Ketawang yang sangat erat dengan Kehidupan dan karyanya, kebanyakan karya beliau dibentuk oleh akar budaya dan sejarah Jawa.

Dengan latar belakang budaya, sosial dan pendidikan yang unik, Srihadi memahami filosofi Jawa yang menjelaskan seluruh aspek siklus kehidupan yang bergerak dinamis yang berakhir kembali kepada Sang Pencipta, Yaitu Tuhan

 

Dalam lukisan Tarian Bedhoyo yang merupakan tarian klasik jawa di Keraton Surakarta Hadiningrat,

Srihadi ingin menjelaskan bahwa tarian ini merupakan tari magis-religius, Tari Bedhaya Ketawang menjadi tari suguhan yang sakral, sakral berarti suci yang menyangkut Ketuhanan, penari Bedhaya Ketawang harus masih perawan dan keadaan suci, dikatakan sakral karena Tari Bedhaya Ketawang disucikan dan juga dipagelarkan sewaktu jumenengan dan hanya boleh ditarikan di dalam keraton.

 

Sakral memiliki simbol bahwa segala sesuatu yang menyangkut dengan Tuhan harus dalam kadaan yang suci serta segala sesuatu tidak akan terjadi tanpa kehendak Tuhan Yang Maha Esa.

 

Tari Bedhaya Ketawang menggambarkan pertemuan antara Panembahan Senopati dengan Kanjeng Ratu Kidul, Panembahan Senopati dan Kanjeng Ratu Kidul dalam Tari Bedhaya Ketawang melakukan cinta kasih.

 

Jumlah sembilan penari Bedhaya Ketawang adalah simbol makrokosmos atau jagad raya yang ditandai dengan sembilan arah mata angin dan mikrokosmos merupakan simbol alam semesta dengan segala isinya.

Tari Bedhaya Ketawang secara keseluruhan memiliki nilai filosofis yang berkesadaran tinggi mengenai asas dasar filsafah hidup, sehingga mencerminkan kemampuan menciptakan pemahaman sangkan paraning dumadi serta manunggaling kawula Gusti dan sebagai simbol kesuburan yaitu menyatunya Lingga dan Yoni.

 

Dalam lukisan tarian Bedhaya Ketawang, tarian ini berfungsi sebagai ritual, meditasi, penobatan raja dan sarana kesuburan.

Tata busana dan tata rias dari para penari ternyata tidak sekedar pelengkap penampilan para penari dalam pagelarannya, namun memiliki makna simbolis Para penari menggunakan dodot banguntulak dan cindhe kembang sebagai lapisan bawahnya. Busana dan tata rias yang dikenakan penari dalam pagelaran tari Bedhaya Ketawang adalah layaknya pengantin putri Kraton Surakarta. Hal tersebut dikarenakan tari Bedhaya Ketawang merupakan reaktualisasi pernikahan Panembahan Senopati dan Kanjeng Ratu Kidul, sehingga busana yang dikenakan haruslah busana pengantin, yang lazim disebut sebagai Basaha.

 

Wujud busananya berupa dodot ageng bangun tulak alas-alasan kemudian tapih dalem model samparan cindhe cakar, sondher cindhe Sekar, rias wajah paes ageng dhandhang gendhis, tata rambut gelung bokor mengkureb, dan perhiasan raja keputren.

Mana makna simbol dari kain ini adalah menggambarkan kehidupan bumi seperti alam semesta yang berisi hewan, tumbuhan, gunung dan lain-lain.

 

Dengan demikian ragam bias yang melekat pada busana tari Bedhaya Ketawang merupakan pendukung tujuan dipergelarkannya tari tersebut sebagaimana fungsinya menjadi legitimasi raja

Hal ini sangat erat hubungannya dengan cita pikiran tentang kedudukan raja yang dipercaya bersifat dewa dan berkuasa di atas segalanya.

 

Semua hasil karya seni, penciptaannya dikembalikan kepada raja Mitos yang berlaku di Lingkungan masyarakat tradisional Jawa

 

Dalam lukisan Srihadi Soedarsono, beliau cenderung mengolah ruang, garis dan bidang datar, oleh karena itu hasil dari karya beliau dengan judul "Bedhaya Ketawang" itu sangat penuh aura magis religius. Sentuhan dari jiwa dan rasa beliau yang ditumpahkan dalam karyanya mampu menangkap nilai serta memaknakan menjadi sebuah ungkapan karya seni yang bisa dirasakan dan dipahami dalam tataran pengetahuan seni.

 

Lukisan Bedhaya Ketawang karya Srihadi penuh unsur spiritual sehingga tarian dalam lukisan seperti hidup dan selalu merasakan apa yang terjadi kala para penari menggeliat di latar sebuah keraton

Pada pertunjukannya, Tari Bedhaya Ketawang di iringi oleh iringan musik gending ketawang gedhe dengan nada pelog. Instrumen yang di gunakan diantaranya adalah kethuk, kenong, gong, kendhang dan kemanak. Dalam Tari Bedhaya Ketawang ini di bagi menjadi tiga babak (adegan). Di tengah tarian nada gendhing bnerganti menjadi slendro selama 2x. Setelah itu nada gendhing kembali lagi ke nada pelog hingga tarian berakhir.

 

Selain diiringu oleh musik gendhing, Tari Bedhaya Ketawang diiringi oleh tembang (lagu) yang menggambarkan curahan hati kanjeng ratu kidul kepada sang raja. Pada bagian pertama tarian diiringi dengan tembang Durma, kemudian di lanjutkan dengan Ratnamulya. Pada saat penari masuk kembali ke dalem ageng prabasuyasa, instrument musik di tambahkan dengan gambang, rebab, gender dan suling untuk menambah keselarasan suasana.

 

Dalam pertunjukan tarian ini, para penari akan bergerak mengikuti sebuah pola atau formasi. Adapun pola lantai tari Bedhaya Ketawang terdiri dari:

 

1. Pola lantai rakit jalur, menjadi simbol wujud lahiriah manusia yang terbagi menjadi tiga bagian, yaitu: kepala, badan, serta anggota badan secara keseluruhan.

2. Pola lantai iring-iringan, menyimbolkan proses kehidupan batiniah manusia. Dimana di dalam prakteknya sebagai manusia, kerap dihadapkan pada ketidaksesuaian antara kehendak dan pikiran.

3. Pola lantai ajeng-ajengan, menyimbolkan siklus kehidupan manusia yang selalu dihadapkan pada dua pilihan, yaitu baik dan buruk.

4. Pola lantai lumebet lajur, sebuah simbol kepatuhan manusia terhadap norma-norma yang telah disepakati dalam masyarakat.

5.Pola lantai endhel-endhel apit medal, satu pola yang menggambarkan ketidakpuasan manusia terhadap banyak hal yang dimilikinya.

6. Pola lantai rakit tiga-tiga, menggambarkan perputaran pikiran manusia yang dimulai dengan tetap, lalu goyah dan mencapai kesadaran hingga sampai pada kemanunggalan.

 

Dalam perjalanan sejarahnya, tarian Bedhaya Ketawang masih dilestarikan dan dipertunjukkan khususnya pada saat upacara-upacara resmi Keraton, semacam Tingalandalem Jumenengan atau ulang tahun penobatan raja yang diperingati setiap setahun sekali.

 

Perlu diingat juga dalam sejarah, pasca terjadinya Perjanjian Giyanti pada 1755, telah terpecah Kesultanan Mataram menjadi Kasunanan Surakarta dan Kesultanan Yogyakarta. Maka dari itu, muncul berbagai penafsiran yang berbeda-beda mengenai pagelaran tarian ini.

 

Hingga kini, tarian Bedhaya Ketawang telah menjadi milik Keraton Kasunanan Surakarta sebagai warisan pusaka non-bendawi Kesultanan Mataram.

 

Hal itu sebagai bentuk penghormatan kepada Kasunanan Surakarta berdasarkan kedudukannya yang lebih tua dari Kesultanan Yogyakarta.

Adapun makna simbolis dari tata busana para penari adalah sebagai berikut: Dodot angeng bangun tulak merupakan simbol perwujudan kesadaran manusia akan perlindungan asal mula hidup atas pemberian Tuhan YME dan tujuan hidup menuju kesempurnaan yang tujuan akhir tertinggi adalah manunggaling kawula Gusti. Warna putih blumbangan merupakan symbol dari asal mula daya hidup dari Tuhan Yang Maha Kuasa. Wara biru merupakan symbol keluhuran budi, arif bijaksana, keimanan, keteguhan hati dalam perjuangan dan pengabdian. Warna hijau merupakan symbol kekuatan yang tumbuh berlanjut atau kesuburan. Berbagai ragam hias yang merupakan unsur dekorasi pada kain dodot ageng bangun tulak, kain samparan dan sondher merupakan symbol kemakmuran dan sadar akan sangkan paraning dumadi dan akhirnya menuju dan menyatu dengan Tuhan atau manunggaling kawula Gusti

 

Sedangkan makna simbolis dari tata rias para penari:  Wujud paes ageng dhandang gendhis merupakan symbol menyatunya rasa yang suci dan kesucian. Bentuk rajut melati bentuk kawungan merupakan symbol kepatuhan kepada Tuhan YME. Makna simbolik raja keputren secara utuh merupakan symbol kekayaan, kemakmuran, kejayaan, kekuasaan, kehidupan. Pada tata rias ini juga terdapat bukti peninggalan budaya nenek moyang, symbol yang melukiskan kesuburan yaitu bentuk lingga dan yoni. Dari lambang bentuk  lingga dan yoni, merupakan pengingat kepada siapa saja tentang makna sangkan paraning dumadi yang merupakan sarana mencapai kehidupan yang sejahtera, aman dan Sentosa.



Anes Pritha H
202046500051
S4A

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Semiotika dalam kehidupan sehari hari

Objek Kajian Semiotika Lukisan "Tjap Go Meh" (Karya Sindu Sudjojono, 1940)

Kajian Hermeneutika